Sunday, March 11, 2007

Pernahkah Bersaksi?

Masih dari pengalaman diskusi spiritual dengan Mas Yulianto. Dimulai dari pertanyaan: “Apa rukun islam pertama?” Saya jawab ringkas: “Syahadat.” Kemudian beliau bertanya lagi: “Bagaimana syahadat itu?” Saya jawab: “Ashhadualla ilaha ilallah, wa ashhaduanna Muhammadarrasulullah.” Beliau bertanya lagi: “Apa artinya bait yang pertama?”. Saya jawab: “Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah.” Kemudian bertanya lagi: “Pernahkah Anda bersaksi?”

Ya, pernahkah saya bersaksi? Lebih jelasnya, pernahkah saya menyaksikan tiada Tuhan selain Allah. Kalau pernah, dimana dan kapan menyaksikannya? Bagaimana cara menyaksikannya?

Mari kita ambil contoh. Amir dipanggil menjadi saksi dalam suatu sidang mengenai keberadaan tempat tinggal Badu. Pimpinan Sidang bertanya kepada Amir, dimanakah tempat tinggal Badu. Amir menjawab “Kata bapak saya, tempat tinggal Badu di Bandung, karena beliau pernah melihat Badu di Bandung.” Maka tingkat keyakinan Amir sebagai Saksi, sangat lemah, karena tidak secara langsung menyaksikan Badu di Bandung, melainkan melalui perantara, yaitu bapaknya. Tapi jika jawaban Amir adalah: “Saya kenal Badu dan sering pergi ke rumah Badu di Bandung”, maka tingkat keyakinan Amir menjadi sangat tinggi, karena selain menyaksikan langsung rumah tempat tinggal Badu di Bandung, juga mengenal pribadinya.

Kesaksian, maka tidak akan lepas dari keyakinan. Dalam Al-Quran, Surat At-Takasur, ada tiga tingkat keyakinan, pertama adalah yakin karena tahu. ”Saya yakin tempat tinggal Badu adalah di Bandung, karena bapak saya pernah melihat Badu di Bandung.” Namun apabila ditanya dimanakah alamat rumah Badu, Amir tidak dapat menjawab. Tingkat keyakinan ini rendah. Tingkat kedua adalah yakin dengan mengetahui dengan pasti.”Saya yakin tempat tinggal Badu adalah di Bandung, karena bapak saya pernah ke rumah Badu di Bandung, yaitu di Jalan Pasteur no 28.” Namun apabila ditanya seperti apakah rumah Badu, jenis rumah dan catnya, maka Amir tidak dapat menjawab. Tingkat keyakinan yang tertinggi adalah yakin melihat dengan mata kepala sendiri. ”Saya, Amir bersaksi bahwa tempat tinggal Badu ada di Bandung, karena saya pernah melihat Badu di rumahnya di Bandung.” Ini adalah tingkat keyakinan yang tinggi, melihat dengan mata kepala sendiri.

Kembali ke syahadat, seberapa yakin kita bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah? Apakah kita lihat dengan mata kepala kita sendiri? Ataukah kita sekedar yakin karena Orang Tua atau guru kita yang mendahului syahadat?

Renungkan baik-baik, kapan dan dimana kita menyaksikan, dan bagaimana cara menyaksikan, bahwa tiada Tuhan selain Allah...

Lebih jauh lagi, kapan, dimana dan bagaimana kita menyaksikan bahwa Nabi Muhammad adalah rasul Allah...

Engkau Saja Sudah Cukup...

Minggu Malam tanggal 11 Maret 2007, mengalami diskusi spiritual yang menarik dengan tetangga di rumah. Tetangga tersebut adalah mas Yulianto, salah seorang yang mendalami langsung ilmu dari seorang kiai di Jombang. Awal mulanya dipicu dengan pertanyaan mengapa kita perlu memperbanyak dzikir kepada Allah. Dzikir hakikatnya adalah mengingat Alllah dengan menyebut nama-Nya. Manfaat dzikir adalah untuk membersihkan hati dari kotoran-kotoran. Hati yang bersih adalah diibaratkan putih seperti mutiara. Setiap dosa maupun kesalahan seseorang akan menodai sedikit demi sedikit kesucian dari hati. Setiap dosa dan kesalahan akan membuat hati menghitam, lama kelamaan membeku dan bahkan menjadi batu. Apabila sudah menjadi batu, maka akan sulit sekali untuk diperbaiki. Mata hati akan tertutup dari hidayah Allah, dan tidak akan sanggup untuk melihat kebenaran. Hati yang menghitam akan menjauhkan diri dari kesadaran akan akhirat dan mendekatkan diri pada dunia. Hati yang menghitam akan menjauhkan diri dari Allah dan mendekatkan diri pada hawa nafsu. Audzubillah himindzalik.

Dzikir akan membantu mengasah hati dari kotoran-kotoran hati, membersihkan hati untuk membuka mata hati untuk melihat kebenaran. Bahkan membuka mata hati untuk ”melihat” Allah. Mari kita perbanyak dzikir, untuk membantu mata hati menemukan tujuannya. Bukankah itulah tujuan hidup kita? Menemukan dan ”melihat” Allah yang hanya dapat diperoleh oleh mata hati yang bersih. Menemukan dan ”melihat” Allah adalah merupakan nikmat yang tertinggi melebihi nikmat surgawi.

Saya jadi ingat sebuah kisah konon di Surga, dimana semua penduduk surga merasakan semua nikmat surga atas semua jerih payahnya selama di dunia. Pada suatu saat, Allah bertanya kepada penduduk surga mengenai nikmat mana yang belum pernah dirasakan selama di surga. Semua penduduk surga mengatakan bahwa semua nikmat telah dirasakan selama di surga, tanpa kecuali. Ketika itu Allah menyibakkan tabir-Nya, sehingga Allah ”terlihat” oleh para penduduk surga. Kontan semua penduduk surga bersujud seraya berkata: ”Ya Allah, tidak ada nikmat yang lebih nikmat daripada melihat-Mu...”

Tak heran bila seorang sufi pernah berkata:
”Bila Kau ingin menganugrahiku nikmat dunia, berikan itu pada musuh-musuh-Mu.
Bila Kau ingin melimpahiku nikmat surgawi, berikanlah pada hamba-hamba-Mu.
Adapun untukku, Engkau saja sudah cukup.”