Sunday, October 21, 2007

Bulan Sudah Terbelah

Suatu hari pada bulan Ramadhan, pernah mengikuti ceramah yang kebetulan materinya cukup menarik buat saya. Ceritanya tentang Surat Al Qomar, yang menceritakan bahwa pada jaman Nabi, Rasulullah pernah membelah bulan... Wow... inikah salah satu mujizat dari Nabi Muhammad saw? Apabila Nabi Mussa as pernah membelah lautan, maka Nabi Muhammad pernah membelah bulan.

Kemudian saya coba browsing di Internet, dan memang terdapat bukti-bukti bahwa bulan pernah terbelah dan bersatu kembali.

Berikut ini adalah saduran tentang Bulan yang terbelah yang saya sadur dari blog: http://fisan.wordpress.com/2006/10/09/scientific-bulan-pun-telah-terbelah/

--------------



Allah berfirman:
Sungguh telah dekat hari kiamat, dan bulan pun telah terbelah.” (Q.S. Al-Qamar: 1)

Apakah kalian akan membenarkan ayat Al-Qur’an ini yang menyebabkan masuk Islamnya pimpinan Hizb Islami Inggris? Di bawah ini adalah kisahnya.
Dalam temu wicara di televisi bersama pakar Geologi Muslim, Prof. Dr. Zaghlul Al-Najar, salah seorang warga Inggris mengajukan pertanyaan kepadanya, apakah ayat dari surat Al-Qamar di atas memiliki kandungan mukjizat secara ilmiah?
Maka Prof. Dr. Zaghlul Al-Najar menjawabnya sebagai berikut:
Tentang ayat ini, saya akan menceritakan sebuah kisah.
Beberapa waktu lalu, saya mempresentasikan hal itu di University Cardif, Inggris bagian Barat. Para peserta yang hadir ber-macam2, ada yang muslim dan ada juga yang bukan muslim. Salah satu tema diskusi waktu itu adalah seputar mukjizat ilmiah dari Al-Qur’an.
Salah seorang pemuda yang beragama muslim pun berdiri dan bertanya, “Wahai Tuan, apakah menurut anda ayat yang berbunyi Telah dekat hari qiamat dan bulan pun telah terbelah mengandung mukjizat secara ilmiah?
Maka saya menjawabnya: Tidak, sebab kehebatan ilmiah diterangkan oleh ilmu pengetahuan, sedangkan mukjizat tidak bisa diterangkan ilmu pengetahuan, sebab ia tidak bisa menjangkaunya. Dan tentang terbelahnya bulan, maka hal itu adalah mukjizat yang terjadi pada masa Rasul terakhir Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam, sebagai pembenaran atas kenabian dan kerasulannya, sebagaimana nabi2 sebelumnya.
Dan mukjizat yang kelihatan, maka itu disaksikan dan dibenarkan oleh setiap orang yang melihatnya. Andai hal itu tidak termaktub di dalam kitab Allah dan hadits2 Rasulullah, maka tentulah kami para muslimin di zaman ini tidak akan mengimani hal itu. Akan tetapi hal itu memang benar termaktub di dalam Al-Qur’an dan hadits2 Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Dan memang Allah ta’alaa benar2 maha berkuasa atas segala sesuatu.
Maka Prof. Dr. Zaghlul Al-Najar pun mengutip sebuah kisah Rasulullah membelah bulan. Kisah itu adalah sebelum hijrah dari Mekah Mukarramah ke Madinah Munawarah. Orang2 musyrik berkata, “Wahai Muhammad, kalau engkau benar Nabi dan Rasul, coba tunjukkan kepada kami satu kehebatan yang bisa membuktikan kenabian dan kerasulanmu (dengan nada mengejek dan meng-olok2)?Rasulullah bertanya, “Apa yang kalian inginkan?” Mereka menjawab, “Coba belah bulan…” Rasulullah pun berdiri dan terdiam, berdoa kepada Allah agar menolongnya. Lalu Allah memberitahu Muhammad saw agar mengarahkan telunjuknya ke bulan. Rasulullah pun mengarahkan telunjuknya ke bulan dan terbelahlah bulan itu dengan se-benar2-nya. Serta-merta orang2 musyrik pun berujar, “Muhammad, engkau benar2 telah menyihir kami!”
Akan tetapi para ahli mengatakan bahwa sihir, memang benar bisa saja “menyihir” orang yang ada disampingnya akan tetapi tidak bisa menyihir orang yang tidak ada di tempat itu. Lalu mereka pun menunggu orang2 yang akan pulang dari perjalanan.
Orang2 Quraisy pun bergegas menuju keluar batas kota Mekkah menanti orang yang baru pulang dari perjalanan. Dan ketika datang rombongan yang pertama kali dari perjalanan menuju Mekkah, orang2 musyrik pun bertanya, “Apakah kalian melihat sesuatu yang aneh dengan bulan?” Mereka menjawab, “Ya, benar. Pada suatu malam yang lalu kami melihat bulan terbelah menjadi dua dan saling menjauh masing2-nya kemudian bersatu kembali…”
Maka sebagian mereka pun beriman, dan sebagian lainnya lagi tetap kafir (ingkar). Oleh karena itu, Allah menurunkan ayat-Nya: “Sungguh, telah dekat hari qiamat, dan telah terbelah bulan, dan ketika melihat tanda2 kebesaran Kami, merekapun ingkar lagi berpaling seraya berkata, “Ini adalah sihir yang terus-menerus”, dan mereka mendustakannya, bahkan mengikuti hawa nafsu mereka. Dan setiap urusan benar-benar telah tetap… (sampai akhir surat Al-Qamar).
Ini adalah kisah nyata, demikian kata Prof. Dr. Zaghlul Al-Najar. Dan setelah selesainya Prof. Dr. Zaghlul menyampaikan hadits nabi tersebut, berdiri seorang muslim warga Inggris dan memperkenalkan diri seraya berkata, “Aku Daud Musa Pitkhok, ketua Al-Hizb Al-Islamy Inggris. Wahai Tuan, bolehkah aku menambahkan?”
Prof. Dr. Zaghlul Al-Najar menjawab: “Dipersilahkan dengan senang hati.” Daud Musa Pitkhok berkata, “Aku pernah meneliti agama2 (sebelum menjadi muslim), maka salah seorang mahasiswa muslim menunjukiku sebuah terjemah makna2 Al-Qur’an yang mulia. Maka, aku pun berterima kasih kepadanya dan aku membawa terjemah itu pulang ke rumah. Dan ketika aku mem-buka2 terjemahan Al-Qur’an itu di rumah, maka surat yang pertama aku buka ternyata Al-Qamar. Dan aku pun membacanya: “Telah dekat hari qiamat dan bulan pun telah terbelah…”
Aku bergumam: Apakah kalimat ini masuk akal? Apakah mungkin bulan bisa terbelah kemudian bersatu kembali? Andai benar, kekuatan macam apa yang bisa melakukan hal itu? Maka, aku pun berhenti membaca ayat2 selanjutnya dan aku menyibukkan diri dengan urusan kehidupan se-hari2. Akan tetapi Allah maha tahu tentang tingkat keikhlasan hamba-Nya dalam pencarian kebenaran.
Suatu hari aku duduk di depan televisi Inggris. Saat itu ada sebuah diskusi antara seorang presenter Inggris dan 3 orang pakar ruang angkasa AS. Ketiga pakar antariksa tersebut bercerita tentang dana yang begitu besar dalam rangka melakukan perjalanan ke antariksa, padahal saat yang sama dunia sedang mengalami masalah kelaparan, kemiskinan, sakit dan perselisihan.
Presenter berkata, “Andaikan dana itu digunakan untuk memakmurkan bumi, tentulah lebih banyak gunanya.” Ketiga pakar itu pun membela diri dengan proyek antariksanya dan berkata, “Proyek antariksa ini akan membawa dampak yang sangat positif pada banyak segmen kehidupan manusia, baik pada segi kedokteran, industri ataupun pertanian. Jadi pendanaan tersebut bukanlah hal yang sia2, akan tetapi hal itu dalam rangka pengembangan kehidupan manusia.”
Dalam diskusi tersebut dibahas tentang turunnya astronot hingga menjejakkan kakinya di bulan, dimana perjalanan antariksa ke bulan tersebut telah menghabiskan dana tidak kurang dari 100 juta dollar. Mendengar hal itu, presenter terperangah kaget dan berkata, “Kebodohan macam apalagi ini, dana yang begitu besar dibuang oleh AS hanya untuk bisa mendarat di bulan?”
Mereka pun menjawab, “Tidak! Tujuannya tidak semata menancapkan ilmu pengetahuan AS di bulan, akan tetapi kami mempelajari kandungan yang ada di dalam bulan itu sendiri, maka kami pun telah mendapat hakikat tentang bulan itu, yang jika kita berikan dana lebih dari 100 juta dollar untuk kesenangan manusia, maka kami tidak akan memberikan dana itu kepada siapapun.”
Mendengar hal itu, presenter itu pun bertanya, “Hakikat apa yang kalian telah capai hingga demikian mahal taruhannya?” Mereka menjawab, “Ternyata bulan pernah mengalami pembelahan di suatu hari dahulu kala, kemudian menyatu kembali!
Presenter pun bertanya, “Bagaimana kalian bisa yakin akan hal itu?” Mereka menjawab, “Kami mendapati secara pasti dari batu2-an yang terpisah (karena) terpotong di permukaan bulan sampai di dalam (perut) bulan. Kami meminta para pakar geologi untuk menelitinya, dan mereka mengatakan, “Hal ini tidak mungkin terjadi kecuali jika memang bulan pernah terbelah lalu bersatu kembali!”
Mendengar paparan itu, ketua Al-Hizb Al-Islamy Inggris mengatakan, “Maka aku pun turun dari kursi dan berkata, Mukjizat (kehebatan) benar2 telah terjadi pada diri Muhammad shallallahu alaihi wassallam 1400-an tahun yang lalu. Allah benar2 telah meng-olok2 AS untuk mengeluarkan dana yang begitu besar, hingga 100 juta dollar, hanya untuk menetapkan akan kebenaran muslimin! Agama Islam ini tidak mungkin salah… Lalu aku pun kembali membuka Mushhaf Al-Qur’an dan aku baca surat Al-Qamar. Dan saat itu adalah awal aku menerima dan masuk Islam.”
Subhanallah….
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.


Sunday, April 8, 2007

Tumpuan Harapan

Pada suatu hari, di pertengahan bulan Maret 2007, saya mengikuti pengajian dhuhur di Mesjid Kantor kami. Saat itu, pengajian sedang membahas Surat Al Ikhlas. Bagian yang paling menarik bagi saya waktu itu adalah mengenai ayat kedua: ”Allahus Shomad”.

Menurut Tafsir yang dikeluarkan Universitas Islam Indonesia, Allahus Shomad artinya Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadan Nya segala sesuatu. Artinya hanya kepada Allah lah kita bergantung dalam mengarungi kehidupan. Jika ada segala sesuatu, maka bergantunglah kepada Allah, minta tolong lah kepada Allah, minta perlindungan kepada Allah.

Menurut Tafsir Al Mishbah dari Quarish Shihab, Allahus Shomad berarti Allah Tumpuan Harapan. Makhluk membutuhkan tumpuan harapan yang dapat menanggulangi kesulitannya. Begitu juga manusia. Jika muncul kesulitan, maka diingat Allahus Shomad, hanya Allah lah tumpuan harapan untuk memecahkan segala kesulitan. Bahkan Allah menjamin dua kali melalui Surat Asy-Syarh ayat 5-6, bahwasanya ”...sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”. Maka jangan ragu, untuk menggantungkan tumpuan harapan hanya pada Allah saja baik dalam kesulitan maupun kesenangan.

Saya ingat suatu cerita tentang seorang yang menggantungkan harapannya hanya pada Allah. Cerita itu saya baca dari buku ”Ketika Cinta Berbuah Surga” dari Habiburrahman El Shirazy, sebagai berikut:

Kayu Ajaib

Pada zaman Bani Israel, ada seorang lelaki shalih yang hendak berdagang. Akan tetapi, dia tidak mempunyai modal. Akhirnya, lelaki itu meminjam uang kepada seorang Saudagar yang dikenal pemurah. Dia meminta pinjaman sebesar seribu dinar.

Karena jumlahnya sangat banyak, saudagar yang dipinjami uang itu berkata, ”Kau akan aku pinjami uang, tetapi carilah orang yang akan menjadi penjaminmu. Jika kau tidak bisa membayar, orang itu yang akan membayarnya!”

Lelaki shalih itu menjawab, ”Cukuplah Allah sebagai penjaminku. Allah Mahakaya dan Mahakuasa!”

Saudagar itu lalu menukas, ”Kalau begitu, carilah saksi. Agar jika terjadi apa-apa dia bisa menjadi saksi yang adil.”

Lelaki shalih itu menjawab. ”Cukup Allah sebagai saksiku. Dia Maha Melihat dan Maha Mengetahui.”

”Kau Benar”

Lalu, saudagai itu meminjamkan uang seribu dinar setelah membuat kesepakatan bahwa tiga bulan kemudian uang itu harus sudah dikembalikan, karena uang itu akan digunakan.

---

Lalu, lelaki shalih itu membelanjakan uang seribu dinar untuk membeli barang-barang dagangan. Dia hendak berdagang ke negeri seberang dengan menggunakan kapal. Di segeri seberangm dia berdagang di sebuah pasar dan dalam waktu satu bulan, dagangannya habis. Dia mendapatkan keuntungan besar, yaitu tiga kali lipat dari modalnya.

Setelah berkemas, dia mencari kapal ke dermaga. Namun, dia tidak menemukankan kapal yang berlayar ke negerinya. Kemudian, dia teringat pada janjinya yang akan mengembalikan uang itu pada awal bulan. Waktunya tinggal empat hari. Sedangkan untuk sampai ke negerinya, dia memerlukan waktu empat hari. Dia bingung, seharusnya, hari itu dia sudah mulai berlayar. Dia menangis dan bingung, dia tidak ingin menghianati janjinya.

Akhirnya dalam kesedihannya, dia melihat sepotong kayu terapung di pinggir pantai. Dia mengambil kayu itu. Kayu itu dia lubangi. Setelah itu dia menulis surat,
Saudaraku, aku tulis surat ini empat hari sebelum hari jatuh tempo pembayaran uang yang aku pinjam seperti yang telah kita sepakati dulu. Aku tidak tahu apakah surat ini sampai kepadamu atau tidak. Aku sepenuhnya menyerahkan urusan ini kepada Allah yang menjadi penjaminku.
Saat ini, sebenarnya aku ingin berlayar pulang untuk mengantarkan uang ini. Namun, itu tidak bisa dilakukan karena tidak ada kapal yang berlayar. Kapal yang akan berlayar ke negeri kita adanya satu bulan lagi. Ini seribu dinar aku titipkan kepada Allah untuk disampaikan kepadamu melalui kayu ini.

Wassalam,
Sahabatmu.

Lalu, dia memasukkan surat itu bersama seribu dirham. Surat dan uang itu dibungkusnya dengan kantong tidak tembus air. Setelah semua selesai, dia pergi ke pantai untuk menghanyutkan kayu itu. Dia berdoa, “Ya Allah, Engkau tahu kalau aku meminjam uang seribu dinar kepada Fulan. Dia bertanya kepadaku siapa yang bisa menjadi jaminanku, dan aku menjawabya ‘Cukup Allahlah yang menjadi penjaminku.’ Lalu dia meminta saksi, aku katakan ‘Cukup Allahlah yang menjadi saksiku.’ Dia pun ridha Kau sebagai penjamin dan saksiku. Dia telah meminjamiku seribu dinar untuk dikembalikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Aku berusaha sekuat tenaga untuk bisa pulang guna membayarkan hutang ini, tetapi tidak bisa karena tak ada kapal. Sekarang, aku titipkan uang seibu dinar ini kepada-Mu untuk Kau sampaikan kepadanya, tepat pada waktunya. Engkaulah Tuhan yang Maha Kuasa. Amin.”

Lalu, dia menghanyutkan kayu itu ke laut. Dia hanya berdiam di tepi pantai, sampai kayu itu hilang ditelan ombak di tengah laut.

---

Pada hari yang dinantikan, saudagar yang memberi pinjaman itu, menanti di dermaga. Dia menanti datangnya kapal yang akan membawa orang yang telah dia pinjami uang seribu dinar. Dia sangat mengharapkan uangnya kembali karena ada keperluan.

Namun, pagi itu tidak ada kapal datang. Dia tunggu sampai siang juga tidak datang. Lalu, dia menunggu sampai sore, namun tidak ada kapal muncul. Dia pun pasrah jika uang itu tidak kembali, dia niatkan sebagai sedekah.

Sebelum pulang, dia melihat kayu terpung diterjang ombak di pantai. Dia pungut kayu itu untuk menjadi kayu bakar. Dia pun membawa kayu itu ke rumahnya. Sampai di rumah, dia mengambil kampak untuk memecah gelondongan kayu itu agar cepat kering sehingga bisa digunakan sebagai kayu bakar. Begitu kayu itu pecah, dia tercengang melihat kantong yang ada di dalamnya. Dia memungut kantong itu dan mengeluarkan isinya, Ternyata, kantong itu berisi uang sebanyak seribu dinar dan selembar surat.

Dia membaca surat itu dengan seksama. Dia terharu dan takjub. Seketika, dia menangis dan bersujud kepada Allah. Dia merasa, betapa maha kuasanya Allah. Allah tidak pernah mengecewakan hamba Nya yang bertawakal dan percaya sepenuh hati kepada-Nya. Surat itu datang dari saudaranya yang meminjam uangnya.

Satu bulan kemudian, lelaku shalih yang meminjam uang itu datang. Dia langsung menemui saudagar yang dulu meminjamkan uang kepadanya. Pertama-tama, dia meminta maaf karena datang terlambat sehingga terlambat pula membayar hutang. Lalu, dia menyodorkan uang seribu dinar.

Saudagar itu berkata, “bukankan kau telah membayarnya?”
“Kapan?”
“Bukankah kau telah menitipkannya lewat sepotong kayu?”

Lalu saudagar itu menceritakan perihal kayu yang dia temukan; yang di dalamnya ada uang seribu dinar.

Mendengar ceritanya, lelaki shalih itu seketika bertashbih, “Subhanallah, Mahasuci Allah!”
---

Sunday, March 11, 2007

Pernahkah Bersaksi?

Masih dari pengalaman diskusi spiritual dengan Mas Yulianto. Dimulai dari pertanyaan: “Apa rukun islam pertama?” Saya jawab ringkas: “Syahadat.” Kemudian beliau bertanya lagi: “Bagaimana syahadat itu?” Saya jawab: “Ashhadualla ilaha ilallah, wa ashhaduanna Muhammadarrasulullah.” Beliau bertanya lagi: “Apa artinya bait yang pertama?”. Saya jawab: “Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah.” Kemudian bertanya lagi: “Pernahkah Anda bersaksi?”

Ya, pernahkah saya bersaksi? Lebih jelasnya, pernahkah saya menyaksikan tiada Tuhan selain Allah. Kalau pernah, dimana dan kapan menyaksikannya? Bagaimana cara menyaksikannya?

Mari kita ambil contoh. Amir dipanggil menjadi saksi dalam suatu sidang mengenai keberadaan tempat tinggal Badu. Pimpinan Sidang bertanya kepada Amir, dimanakah tempat tinggal Badu. Amir menjawab “Kata bapak saya, tempat tinggal Badu di Bandung, karena beliau pernah melihat Badu di Bandung.” Maka tingkat keyakinan Amir sebagai Saksi, sangat lemah, karena tidak secara langsung menyaksikan Badu di Bandung, melainkan melalui perantara, yaitu bapaknya. Tapi jika jawaban Amir adalah: “Saya kenal Badu dan sering pergi ke rumah Badu di Bandung”, maka tingkat keyakinan Amir menjadi sangat tinggi, karena selain menyaksikan langsung rumah tempat tinggal Badu di Bandung, juga mengenal pribadinya.

Kesaksian, maka tidak akan lepas dari keyakinan. Dalam Al-Quran, Surat At-Takasur, ada tiga tingkat keyakinan, pertama adalah yakin karena tahu. ”Saya yakin tempat tinggal Badu adalah di Bandung, karena bapak saya pernah melihat Badu di Bandung.” Namun apabila ditanya dimanakah alamat rumah Badu, Amir tidak dapat menjawab. Tingkat keyakinan ini rendah. Tingkat kedua adalah yakin dengan mengetahui dengan pasti.”Saya yakin tempat tinggal Badu adalah di Bandung, karena bapak saya pernah ke rumah Badu di Bandung, yaitu di Jalan Pasteur no 28.” Namun apabila ditanya seperti apakah rumah Badu, jenis rumah dan catnya, maka Amir tidak dapat menjawab. Tingkat keyakinan yang tertinggi adalah yakin melihat dengan mata kepala sendiri. ”Saya, Amir bersaksi bahwa tempat tinggal Badu ada di Bandung, karena saya pernah melihat Badu di rumahnya di Bandung.” Ini adalah tingkat keyakinan yang tinggi, melihat dengan mata kepala sendiri.

Kembali ke syahadat, seberapa yakin kita bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah? Apakah kita lihat dengan mata kepala kita sendiri? Ataukah kita sekedar yakin karena Orang Tua atau guru kita yang mendahului syahadat?

Renungkan baik-baik, kapan dan dimana kita menyaksikan, dan bagaimana cara menyaksikan, bahwa tiada Tuhan selain Allah...

Lebih jauh lagi, kapan, dimana dan bagaimana kita menyaksikan bahwa Nabi Muhammad adalah rasul Allah...

Engkau Saja Sudah Cukup...

Minggu Malam tanggal 11 Maret 2007, mengalami diskusi spiritual yang menarik dengan tetangga di rumah. Tetangga tersebut adalah mas Yulianto, salah seorang yang mendalami langsung ilmu dari seorang kiai di Jombang. Awal mulanya dipicu dengan pertanyaan mengapa kita perlu memperbanyak dzikir kepada Allah. Dzikir hakikatnya adalah mengingat Alllah dengan menyebut nama-Nya. Manfaat dzikir adalah untuk membersihkan hati dari kotoran-kotoran. Hati yang bersih adalah diibaratkan putih seperti mutiara. Setiap dosa maupun kesalahan seseorang akan menodai sedikit demi sedikit kesucian dari hati. Setiap dosa dan kesalahan akan membuat hati menghitam, lama kelamaan membeku dan bahkan menjadi batu. Apabila sudah menjadi batu, maka akan sulit sekali untuk diperbaiki. Mata hati akan tertutup dari hidayah Allah, dan tidak akan sanggup untuk melihat kebenaran. Hati yang menghitam akan menjauhkan diri dari kesadaran akan akhirat dan mendekatkan diri pada dunia. Hati yang menghitam akan menjauhkan diri dari Allah dan mendekatkan diri pada hawa nafsu. Audzubillah himindzalik.

Dzikir akan membantu mengasah hati dari kotoran-kotoran hati, membersihkan hati untuk membuka mata hati untuk melihat kebenaran. Bahkan membuka mata hati untuk ”melihat” Allah. Mari kita perbanyak dzikir, untuk membantu mata hati menemukan tujuannya. Bukankah itulah tujuan hidup kita? Menemukan dan ”melihat” Allah yang hanya dapat diperoleh oleh mata hati yang bersih. Menemukan dan ”melihat” Allah adalah merupakan nikmat yang tertinggi melebihi nikmat surgawi.

Saya jadi ingat sebuah kisah konon di Surga, dimana semua penduduk surga merasakan semua nikmat surga atas semua jerih payahnya selama di dunia. Pada suatu saat, Allah bertanya kepada penduduk surga mengenai nikmat mana yang belum pernah dirasakan selama di surga. Semua penduduk surga mengatakan bahwa semua nikmat telah dirasakan selama di surga, tanpa kecuali. Ketika itu Allah menyibakkan tabir-Nya, sehingga Allah ”terlihat” oleh para penduduk surga. Kontan semua penduduk surga bersujud seraya berkata: ”Ya Allah, tidak ada nikmat yang lebih nikmat daripada melihat-Mu...”

Tak heran bila seorang sufi pernah berkata:
”Bila Kau ingin menganugrahiku nikmat dunia, berikan itu pada musuh-musuh-Mu.
Bila Kau ingin melimpahiku nikmat surgawi, berikanlah pada hamba-hamba-Mu.
Adapun untukku, Engkau saja sudah cukup.”