Sunday, April 8, 2007

Tumpuan Harapan

Pada suatu hari, di pertengahan bulan Maret 2007, saya mengikuti pengajian dhuhur di Mesjid Kantor kami. Saat itu, pengajian sedang membahas Surat Al Ikhlas. Bagian yang paling menarik bagi saya waktu itu adalah mengenai ayat kedua: ”Allahus Shomad”.

Menurut Tafsir yang dikeluarkan Universitas Islam Indonesia, Allahus Shomad artinya Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadan Nya segala sesuatu. Artinya hanya kepada Allah lah kita bergantung dalam mengarungi kehidupan. Jika ada segala sesuatu, maka bergantunglah kepada Allah, minta tolong lah kepada Allah, minta perlindungan kepada Allah.

Menurut Tafsir Al Mishbah dari Quarish Shihab, Allahus Shomad berarti Allah Tumpuan Harapan. Makhluk membutuhkan tumpuan harapan yang dapat menanggulangi kesulitannya. Begitu juga manusia. Jika muncul kesulitan, maka diingat Allahus Shomad, hanya Allah lah tumpuan harapan untuk memecahkan segala kesulitan. Bahkan Allah menjamin dua kali melalui Surat Asy-Syarh ayat 5-6, bahwasanya ”...sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”. Maka jangan ragu, untuk menggantungkan tumpuan harapan hanya pada Allah saja baik dalam kesulitan maupun kesenangan.

Saya ingat suatu cerita tentang seorang yang menggantungkan harapannya hanya pada Allah. Cerita itu saya baca dari buku ”Ketika Cinta Berbuah Surga” dari Habiburrahman El Shirazy, sebagai berikut:

Kayu Ajaib

Pada zaman Bani Israel, ada seorang lelaki shalih yang hendak berdagang. Akan tetapi, dia tidak mempunyai modal. Akhirnya, lelaki itu meminjam uang kepada seorang Saudagar yang dikenal pemurah. Dia meminta pinjaman sebesar seribu dinar.

Karena jumlahnya sangat banyak, saudagar yang dipinjami uang itu berkata, ”Kau akan aku pinjami uang, tetapi carilah orang yang akan menjadi penjaminmu. Jika kau tidak bisa membayar, orang itu yang akan membayarnya!”

Lelaki shalih itu menjawab, ”Cukuplah Allah sebagai penjaminku. Allah Mahakaya dan Mahakuasa!”

Saudagar itu lalu menukas, ”Kalau begitu, carilah saksi. Agar jika terjadi apa-apa dia bisa menjadi saksi yang adil.”

Lelaki shalih itu menjawab. ”Cukup Allah sebagai saksiku. Dia Maha Melihat dan Maha Mengetahui.”

”Kau Benar”

Lalu, saudagai itu meminjamkan uang seribu dinar setelah membuat kesepakatan bahwa tiga bulan kemudian uang itu harus sudah dikembalikan, karena uang itu akan digunakan.

---

Lalu, lelaki shalih itu membelanjakan uang seribu dinar untuk membeli barang-barang dagangan. Dia hendak berdagang ke negeri seberang dengan menggunakan kapal. Di segeri seberangm dia berdagang di sebuah pasar dan dalam waktu satu bulan, dagangannya habis. Dia mendapatkan keuntungan besar, yaitu tiga kali lipat dari modalnya.

Setelah berkemas, dia mencari kapal ke dermaga. Namun, dia tidak menemukankan kapal yang berlayar ke negerinya. Kemudian, dia teringat pada janjinya yang akan mengembalikan uang itu pada awal bulan. Waktunya tinggal empat hari. Sedangkan untuk sampai ke negerinya, dia memerlukan waktu empat hari. Dia bingung, seharusnya, hari itu dia sudah mulai berlayar. Dia menangis dan bingung, dia tidak ingin menghianati janjinya.

Akhirnya dalam kesedihannya, dia melihat sepotong kayu terapung di pinggir pantai. Dia mengambil kayu itu. Kayu itu dia lubangi. Setelah itu dia menulis surat,
Saudaraku, aku tulis surat ini empat hari sebelum hari jatuh tempo pembayaran uang yang aku pinjam seperti yang telah kita sepakati dulu. Aku tidak tahu apakah surat ini sampai kepadamu atau tidak. Aku sepenuhnya menyerahkan urusan ini kepada Allah yang menjadi penjaminku.
Saat ini, sebenarnya aku ingin berlayar pulang untuk mengantarkan uang ini. Namun, itu tidak bisa dilakukan karena tidak ada kapal yang berlayar. Kapal yang akan berlayar ke negeri kita adanya satu bulan lagi. Ini seribu dinar aku titipkan kepada Allah untuk disampaikan kepadamu melalui kayu ini.

Wassalam,
Sahabatmu.

Lalu, dia memasukkan surat itu bersama seribu dirham. Surat dan uang itu dibungkusnya dengan kantong tidak tembus air. Setelah semua selesai, dia pergi ke pantai untuk menghanyutkan kayu itu. Dia berdoa, “Ya Allah, Engkau tahu kalau aku meminjam uang seribu dinar kepada Fulan. Dia bertanya kepadaku siapa yang bisa menjadi jaminanku, dan aku menjawabya ‘Cukup Allahlah yang menjadi penjaminku.’ Lalu dia meminta saksi, aku katakan ‘Cukup Allahlah yang menjadi saksiku.’ Dia pun ridha Kau sebagai penjamin dan saksiku. Dia telah meminjamiku seribu dinar untuk dikembalikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Aku berusaha sekuat tenaga untuk bisa pulang guna membayarkan hutang ini, tetapi tidak bisa karena tak ada kapal. Sekarang, aku titipkan uang seibu dinar ini kepada-Mu untuk Kau sampaikan kepadanya, tepat pada waktunya. Engkaulah Tuhan yang Maha Kuasa. Amin.”

Lalu, dia menghanyutkan kayu itu ke laut. Dia hanya berdiam di tepi pantai, sampai kayu itu hilang ditelan ombak di tengah laut.

---

Pada hari yang dinantikan, saudagar yang memberi pinjaman itu, menanti di dermaga. Dia menanti datangnya kapal yang akan membawa orang yang telah dia pinjami uang seribu dinar. Dia sangat mengharapkan uangnya kembali karena ada keperluan.

Namun, pagi itu tidak ada kapal datang. Dia tunggu sampai siang juga tidak datang. Lalu, dia menunggu sampai sore, namun tidak ada kapal muncul. Dia pun pasrah jika uang itu tidak kembali, dia niatkan sebagai sedekah.

Sebelum pulang, dia melihat kayu terpung diterjang ombak di pantai. Dia pungut kayu itu untuk menjadi kayu bakar. Dia pun membawa kayu itu ke rumahnya. Sampai di rumah, dia mengambil kampak untuk memecah gelondongan kayu itu agar cepat kering sehingga bisa digunakan sebagai kayu bakar. Begitu kayu itu pecah, dia tercengang melihat kantong yang ada di dalamnya. Dia memungut kantong itu dan mengeluarkan isinya, Ternyata, kantong itu berisi uang sebanyak seribu dinar dan selembar surat.

Dia membaca surat itu dengan seksama. Dia terharu dan takjub. Seketika, dia menangis dan bersujud kepada Allah. Dia merasa, betapa maha kuasanya Allah. Allah tidak pernah mengecewakan hamba Nya yang bertawakal dan percaya sepenuh hati kepada-Nya. Surat itu datang dari saudaranya yang meminjam uangnya.

Satu bulan kemudian, lelaku shalih yang meminjam uang itu datang. Dia langsung menemui saudagar yang dulu meminjamkan uang kepadanya. Pertama-tama, dia meminta maaf karena datang terlambat sehingga terlambat pula membayar hutang. Lalu, dia menyodorkan uang seribu dinar.

Saudagar itu berkata, “bukankan kau telah membayarnya?”
“Kapan?”
“Bukankah kau telah menitipkannya lewat sepotong kayu?”

Lalu saudagar itu menceritakan perihal kayu yang dia temukan; yang di dalamnya ada uang seribu dinar.

Mendengar ceritanya, lelaki shalih itu seketika bertashbih, “Subhanallah, Mahasuci Allah!”
---